JJBTT Asiknya…(Part 3)

Ketika harapan tidak seindah realita

WhatsApp Image 2020-06-17 at 08.28.42

(ilustrasi Shirakawa-go dari google)

Pernah melihat gambar di atas? ini adalah gambaran dari Shirakawa Go, sebuah desa yang menjadi warisan budaya UNESCO, dan juga menjadi alasan utama saya pergi ke Jepang pada winter ini. Shirakawa Go sendiri sejatinya adalah sebutan bagi sebuah desa yang terletak di Prefektur Gifu dan ada di daerah aliran sungan Sho. Yang menjadi keistimewaan Shirakawa Go adalah bentuk rumah dengan arsitektur Gassho, atau rumah dengan atap segitiga yang sejatinya akan memudahkan orang untuk membersihkan salju pada saat musim dingin datang. Bentuk ini juga bisa dikaitkan dengan bentuk tangan yang memanjatkan doa dalam agama Budha.

Shirakawa Go sangat cantik di ke-4 musim. Pada musim dingin desa ini akan tertutup dengan hamparan salju yang tebal dan iluminasi pada malam hari. Pada musim semi, sakura tumbuh dengan cantiknya di sepanjang desa. Pada musim panas, dedaunan menjadi sangat hijau, bunyi serangga bisa kita dengar. Dan pada musim gugur, dedaunan akan berwarna kemerahan sebelum gugur menyambut musim dingin. Singkatnya kapanpun kita sempat untuk pergi ke Shirakawa Go, desa ini akan nampak sangat cantik.

Karena itu saya bela-belain datang…

18 Januari 2020

Lagi-lagi pukul 6 pagi kami sudah bangun, tetapi berbeda dengan hari sebelumnya hari ini kami bangun dengan tubuh yang segar. Alasan utamanya mungkin karena kami tidur cepat malam sebelumnya. Packing, siap-siap, dan kami bergegas berkumpul di lobby untuk check out dan menitipkan barang di hotel selama kami explore Shirakawa Go.

WhatsApp Image 2020-06-15 at 09.20.27

(suasana pagi di Takayama)

Selesai administrasi hotel kami turun ke lantai 1 untuk makan pagi di Family Mart sambil menunggu bus yang akan kami tumpangi pergi di pukul 07.15 pagi. Pengalaman pagi hari di Takayama itu sangat menyenangkan, udaranya sangat segar, sepi,dan indah. Takayama sekali lagi menjadi favorit saya selama perjalanan di Jepang kali ini. Coba deh.

Pukul 7 tepat kami segera menyeberang jalan dari hotel menuju terminal bus. Sebelumnya dengan bantuan Antonius Andy, kami sudah memesan tiket Nohi Bus untuk keberangkatan pukul 07.15 dan kembali pukul 12.30. Cukup rasanya 4 jam untuk explore dan bermain salju (niatnya sih…). Jepang yang presisi membawa kami untuk berangkat tepat pukul 07.15 menuju Shirakawa Go. Sebenarnya kami sudah memprediksi kalau Shirakawa Go tidak akan jauh beda nasibnya dengan Takayama pada saat itu. Maksudnya? Takayama di Januari 2020 sangat tidak bersalju. Memang suhunya sangat rendah tetapi salju malu-malu untuk turun pada bulan ini. Dan Shirakawa Go yang hanya berjarak kurang dari 1 jam, kemungkinan bernasib sama.

WhatsApp Image 2020-06-17 at 08.51.25

(dari Country Hotel hanya perlu menyebrang jalan menuju Terminal bus Nohi)

Perjalanan menuju Shirakawa Go memakan waktu 50 menit. Dan benar saja ketika kami tiba, Shirakawa Go tidak bersalju. Realita tidak secantik ekspektasi kami.

WhatsApp Image 2020-06-17 at 08.51.25-4

(mana saljunyaaaa…..)

Tapi menyesali keputusan bukanlah menjadi pilihan yang tepat untuk kami. Sebetulnya kami bisa pergi ke Shinhotaka Ropeway yang terkenal dengan cable car dan area bersalju, hanya saja tiket bus yang sudah dipesan tidak bisa kembali. Menikmati Shirakawa Go menjadi keputusan kami.

Sampai di terminal Shirakawa Go, tujuan pertama adalah Observation deck. Dari terminal kita harus berjalan kurang-lebih 200 meter untuk kemudian belok kiri, berjalan lagi 200 meter sampai menemukan jalan menanjak di sebelah kiri jalan. Observation Deck ini adalah tempat terbaik untuk menikmati keseluruhan Shirakawa Go dari atas bukit. Jalan menanjak ini jaraknya kurang dari 1 km, tetapi karena menanjak dan musim dingin, dimana oksigen sangat terbatas, perjalanan ini menjadi sangat melelahkan. Tapi rasa lelahnya terbayar setelah sampai di observation deck pertama. Pemandangannya bagus banget, walau pastinya lebih bagus ketika salju turun.

WhatsApp Image 2020-06-15 at 21.11.48

(Observation deck bawah, pemandangannya sudah sangat cantik,bayangkan kalau tertutup salju)

Setelah foto-foto sebentar, kami naik ke Observation deck atas, tempat ini memiliki banyak fasilitas wisatawan. Toko-toko souvenir, toilet, sampai jasa foto. FYI untuk teman-teman yang mau pergi ke Shirakawa Go dan berfoto di Observation Deck atas, ada sedikit tourist trap yang sedikit mengecewakan. Kita akan ‘dipaksa’ untuk berfoto dengan ucapan “tidak diambil tidak apa-apa” , literally dengan bahasa Indonesia dia bilangnya. Tetapi in the end kita tetap harus bayar 1000 Yen untuk menebus foto yang sudah ditake. Terlepas dari tourist trap ini, pemandangan dari observation deck atas sangat menakjubkan dan kalo boleh jujur si mas-mas foto sangat proper menyiapkan property fotonya. Saya dan istri sih menebus foto tanpa penyesalan, karena kapan lagi bisa pergi ke Shirakawa Go.

WhatsApp Image 2020-06-17 at 08.51.25-2

(Tourist trap…tapi bagus juga sih)

Setelah puas berfoto dan membeli sedikit souvenir, kami menuruni observation deck untuk explore Shirakawa Go. Keputusan untuk naik ke observation deck lebih dahulu sangatlah tepat. Karena ketika kami dalam perjalanan turun, sekelompok turis sedang berjalan naik, dapat dibayangkan bagaimana hecticnya observation deck. Kami yang sudah menerima kenyataan tidak ada salju di Shirakawa Go turun dengan happy, karena masih banyak yang dapat kami explore di Shirakawa Go.

Sepanjang jalan di Shirakawa Go sangat menyenangkan, selain desanya yang masih asri, banyak rumah-rumah tua yang menjajakan souvenir dan makanan khas dari Shirakawa Go yang merupakan bagian perefktur Gifu. Yang menjadi makanan khas utama tetap olahan hida beef dan sake. Makanan olahan hida beef di Shirakawa Go adalah kroket goreng dengan isi cincangan daging hida beef dan juga bakpau. Dan untuk sakenya sendiri tidak beralkohol, hanya fermentasi beras yang dibuat manis, rasanya mungkin seperti bajigur di Bandung.

WhatsApp Image 2020-06-17 at 08.51.25-5

(sake beras dan kroket hida beef)

Shirakawa Go menjadi tempat yang harus disinggahi untuk merasakan sisi lain dari Jepang, jauh dari hiruk-pikuk , kemajuan teknologi, dan kehectic-an kota besar. Shirakawa Go membuat kita bisa belajar banyak tentang tradisi Jepang di masa lalu yang kemudian terintegrasi pada arsitektur dan struktur desa. Shirakawa Go juga memberikan kami insight bahwa tanpa salju-pun desa ini sangat cantik.

WhatsApp Image 2020-06-17 at 09.47.54

(ketemu salju segini juga kami Happy)

Tidak banyak yang bisa diceritakan, overall kami sangat happy di Shirakawa Go, sampai waktu menunjukan pukul 12.00 siang tanda kami harus kembali ke Takayama dan mengejar kereta ke Kyoto pada pukul 15.00. Sampai di Takayama 50 menit kemudian, kami langsung menuju stasiun kereta yang terletak di sebelah terminal bus. Stasiun di Takayama sangat unik karena designnya sangat modern, sangat berbeda dengan bangunan lainnya yang terlihat kuno. Akses dari Takayama menuju Kyoto sebenarnya ada 2 dengan kereta. Akses pertama ialah dengan kereta Hida Takayama yang dioperasikan JR sampai stasiun Nagoya kemudian disambung dengan Shinkansen sampai Kyoto. Atau akses kedua dengan kereta Hida Takayama langsung dari Takayama ke Kyoto tanpa berhenti. Hanya saja akses kedua ini memiliki waktu keberangkatan yang tidak sesering akses pertama. Kami memilih akses kedua karena waktunya bisa kami penuhi dan lebih murah tentunya.

Setelah makan di restoran sekitar stasiun, kami memilih menunggu di stasiun karena takut tertinggal kereta.

WhatsApp Image 2020-06-17 at 08.53.01

(Kereta Hida Takayama menuju Kyoto)

Perjalanan dari Takayama menuju Kyoto memakan waktu kurang-lebih 4 jam. Jadi kurang lebih pukul 19.00 kami tiba di stasiun Kyoto. Perjalanan sendiri berlangsung menyenangkan karena pemandangan yang disajikan sangat indah dan lagi kereta ini berbeda dengan kereta dalam kota biasa. Penumpang dapat membawa makanan dan minuman kedalamnya, jadi tidak perlu takut kelaparan dan kehausan.

Pada pukul 19.00 tepat kami tiba di Kyoto, dan destinasi pertama kami adalah penginapan kami. Di Kyoto kami menginap di GladOne Kyoto Shichijo, kami harus berjalan kaki kurang lebih 10 menit hingga sampai di hotel kami. Hotel ini terletak di tengah pemukiman warga, agak absurd sih. Hanya saja design hotel ini bagus, dengan kolam ikan koi didepan hotel, membawa suasana hommy di hotel ini. Check in dan istirahat sejenak, saya dan sepasang teman yang lain memutuskan untuk mencari makan malam. Sementara 2 pasang lainnya memiliki pilihan makan malam sendiri.

Malam itu kami mencari Ichiran terdekat untuk makan malam. Sekalian mencoba menggunakan bus dalam kota Kyoto. Ternyata caranya cukup mudah, dengan mencari bus stop yang menghentikan bus dengan nomor yang dituju saja cukup. Setelah menemukan bus stop yang tepat, kita tinggal menunggu sampai busnya berhenti, naik. Biaya untuk naik bus di Kyoto sebesar 260 Yen, jauh dekat, dan bisa menggunakan Ic Card untuk membayarnya.

WhatsApp Image 2020-06-05 at 21.57.36

(Bus stop di Kyoto)

Ichiran terdekat dari hotel kami terletak di sekitaran Nishiki Market, pasar ikan semacam Tsukiji di Tokyo. Kami tiba sekitar pukul 21.00 dan Ichiran masih saja penuh dengan pengunjung. Cara memesan makanan di ichiran sama dengan kedai ramen pada umumnya di Jepang dengan menggunakan mesin.

WhatsApp Image 2020-06-17 at 08.52.29

(biar ga lama siapkan dulu uangnya ya, untuk makan berdua siapkan pecahan 5000 Yen saja )

Yang menjadi spesial di Ichiran mungkin pada ruang makan yang dibuat bersekat. Idenya adalah bagaimana pengunjung betul-betul menikmati makanan yang disajikan, pesan-makan-pulang. Tanpa harus interaksi dengan pengunjung lainnya. Ichiran adalah restoran ramen yang basenya adalah tonkotsu atau kaldu babi. Kalau di perhatikan menu mienya hanya 1, yang berbeda adalah banyaknya topping pada mienya. Apabila kurang pengunjung bisa menambah mie dengan memesan mie nya saja. Setelah mendapatkan tiket dari mesin, para pengunjung akan diberikan sebuah form yang harus diisi dengan apa yang pengunjung mau ada didalam mangkuk ramennya. Ramen akan dibuat berdasarkan referensi yang dikehendaki oleh pengunjung.

WhatsApp Image 2020-06-17 at 10.36.34

(ilustrasi pesanan ichiran)

Setelah itu kita tinggal mengantri ,sampai tempat makan tersedia dan masuk pod yang sudah disediakan. Meja makannya relatif kecil untuk saya yang berbadan besar,kedua siku saya menyentuh dinding dalam posisi melipat tangan. Tidak lama setelah duduk, seorang karyawan membuka kerai untuk mengambil formulir isian yang kita isi beserta dengan tiket yang kita beli di mesin. Tidak sampai 5 menit pesanan telah sampai dan siap untuk dimakan.

WhatsApp Image 2020-06-17 at 08.52.14

(porsi makan Ayu Sari, yang saya tidak sempat di foto, keburu ludes)

Setelah menghabiskan porsi ramen yang lumayan besar dengan mie tambahan , saya pun keluar kedai dengan hati bahagia.

Sebelum kembali ke hotel , kami menyempatkan diri berkeliling daerah sekitar Nishiki Market. Kesan pertama untuk Kyoto ialah, tidak seramai Tokyo dan menarik untuk dieksplorasi….

Bersambung…

 

Leave a comment